Kekhalifahan Abbasiyah yang gemilang telah memberikan suasana paling cocok bagi kemajuan ilmu pengetahuan, dan secara tepat dikenal sebagai zaman keemasan peradaban Islam. Pada masa pemerintahan inilah Khalifah Ma'mun ar-Razid yang termasyur itu mendirikan Darul hukama (Rumah Kebijaksanaan), yang manfaatnya sebagai laboratorium penerjemahan dan kerja penelitian membuka jalan bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Perkembangan intelektual selama era ini telah mencapai tingkatan yang tidak ada tolok bandingannya dalam sejarah Islam. Khalifah-Khalifah dan Amir-amir saling menyaingi dalam melacak karya-karya tulis dan melindungi ilmu pengetahuan. Salah seorang bintang intelektual yang besar pada zaman ini adalah Al-Mawardi, yang menjadi terkenal sebagai pemikir politik Islam yang pertama, dan termasuk pada barisan pemikir-pemikir politik yang terbesar dari abad pertengahan. Dari kedudukan sebagai Qadhi, meningkat menjadi Duta Keliling Khalifah, dan telah membereskan banyak kekacauan politik yang rumit bagi negaranya. "Al-Khatib of Baghdad," demikian tulis seorang orientalis, "Mengenai otoritas Abu Ali Hasan Ibn Da'ud, menceritakan bahwa penduduk Basrah selalu membanggakan tiga orang ilmuwan negara mereka dan karya-karyanya, yaitu:
• Khalid ibn Ahmad (wafat 175 H) dengan karyanya Kitab Al-Amin,
• Sibawaih (wafat 180 H) dengan karyanya Kitab An-Nahw, dan
• Al-Jahiz (wafat 225 H) dengan karyanya Al-Bayan wat-Tabiyan.
Kepada tiga nama ini masih bisa ditambahkan nama keempat, Al-Mawardi, seorang penasehat hukum yang terpelajar, dan ahli ekonomi politik dari Basrah, dengan bukunya Al-Ahkam us-Sultaniyah. Karya ini merupakan master-piece dalam literature politik keagamaan Islam."
Ali ibn Muhammad ibn Habib, Abul Hasan al-Mawardi lahir di Basrah pada 364 H/1058 M, dalam satu keluarga Arab yang membuat dan memeperdagangkan air mawar, dan karena itu mendapat nama julukan "Al Mawardi." Dia menerima pendidikannya yang pertama di Basrah, belajar ilmu hukum dari Abul Qasim Abdul Wahid as-Saimari, seorang ahli hukum madzhab Syafi'i yang terkenal. Kemudian, pindah ke Baghdad untuk melanjutkan pelajaran hukum, tata bahasa, dan kesusastraan, dari Abdullah al-Bafi dan Syaikh Abdul Hamid al-Isfraini. Dalam waktu singkat ia telah menguasai dengan baik pelajaran-pelajaran Islam, termasuk hadits dan fiqh seperti juga politik, etika dan sastra.
Dari menjabat qadhi (hakim) di berbagai tempat, kemudian diangkat sebagai qadhi al-Quzat (Hakim Tertinggi) di Ustuwa, sebuah distrik di Nishabur. Pada 429 H, ia dinaikkan kejabatan kehakiman yang paling tinggi, Aqb al-Quzat (Qadui Agung) di Baghdad, janbatan yang dipegangnya dengan hormat sampai pada saat wafatnya.
Dia ahli politik praktis yang ulung, dan penulis kreatif mengenai berbagai persoalan sepeti agama, etika, sastra dan politik. Khalifah Abbasiyah al-Qadir Bailah (381 - 422 H) memberinya kehormatan yang tinggi, dan Qa'imam bin Amrillah 391 - 460 H Khalifah Abbasiyah ke-26 di Baghdad mengangkatnya menjadi duta keliling dan mengutusnya dalam berbagai misi diplomatic ke negara-negara tetangga maupun ke negara satelit. Kenegarawannya yang arif bijaksana, untuk sebagian besar bertanggung jawab dalam memelihara wibawa kekhalifahan di Baghdad, yang merosot di tengah-tengah para raja dari warga Seljuk dan Buwaihid, yang hampir sepenuhnya berdiri sendiri dan terlalu berkuasa. Al Mawardi dilimpahi berbagai hadiah berharga oleh Seljuk, Buwaihid dan amir-amir yang lainnya yang diberinya nasehat-nasehat bijaksana yang sesuai dengan martabat kekhalifahan Baghdad. Menurut Jalal-ud-Dawlah, Al-Mawardi melampaui orang-orang lain sederajatnya dalam kekayaan. Ada orang yang menuduh dia mengakui menganut keyakinan Mu'tazili, tetapi penulis-penulis kemudian menyangkal hal itu. Dia wafat pada 1058 M, sesudah menjalani karier yang cemerlang.
Sebagai eksponen Madzhab syafi'I, Al-Mawardi adalah seorang ahli hadits terkemuka. Sayang sekali tak ada karyanya mengenai persoalan ini yang masih tersimpan. Tak diragukan bahwa sejumlah hadits dari dia telah dikutip dalam Ahkam us-Sultaniya, A'lam Nubuwat, dan Adab ud Dunya wad-Din. Pegangannya pada hadits bisa kaku ternyata dari karyanya A'lam un- Nubuwat. Keterangannya tentang perbedaan antara mukjizat dan sihir dalam pengertian ucapan-ucapan nabi, menurut Tsah Kopruizadah adalah yang "terbaik diriwayatkan sampai masa itu."
Sebagai seorang penasehat politik, Al-Mawardi menempati kedudukan yang penting diantara sarjana-sarjana Muslim. Dia telah mengkhususkan diri dalam soal ini, dan diakui secara universal sebagai salah seorang ahli hukum terbesar pada zamannya. Dia mengemukakan fiqh madzhab Syafi'i dalam karya besar yang unggul Al-Hawi, yang dipakai sebagai buku rujukan tentang hukum madzhab Syafi'i oleh ahli-ahli hukum kemudian hari, termasuk al-Isnavi yang sangat memuji buku ini .buku ini terdiri dari 8.000halaman,dipadatkan oleh al-mawardi dalam satu ringkasan 40 halaman berjudul Al-Iqra.
Al-mawardi mempunyai reputasi tinggi di kalangan orang-orang lama dalam barisan juru ulas Al-Quran .Ulasanya yang berjudul Nukat-wa"luyun mendapat tempat tersendiri diantara ulasan-ulasan klasik dari Al Qusyairi, Al-Razi, Al-Isfahani, dan Al-Kirmani. Tuduhan bahwa ulasan-ulasannya yang tertentu mengandung kuman-kuman pandangan Mu'tazilah tidaklah wajar, dan orang-orang terkemuka seperti Ibn Taimiyah telah memasukkan karya Al-Mawardi ke dalam buku-buku yang bagus mengenai persoalannya. Ulasannya atas Al-Qur'an popular sekali, dan buku ini telah dipesingkat oleh seorang penulis. Seorang sarjana Muslim Sepanyol bernama Abul Hasan Ali telah datang jauh dari Saragosa di Sepanyol, untuk membaca buku tersebut dari pengarangnya sendiri.
Al-Mawardi juga menulis sebuah buku tentang perumpamaan dalam Al-Qur'an, yang menurut pendapat As-Suyuti merupakan buku pertama dalam soal ini. Menekankan pentingnya buku ini,Al-Mawardi menulis, "salah satu dari ilmu Qur'an yang pokok adalah ilmu ibarat, atau umpama. Orang telah mengabaikan hal ini, karena mereka membatasi perhatiannya hanya kepada perumpamaan, dan hilang pandangannya kepada umpama-umpamanya yang disebutkan dalam kiasan itu. Suatu perumpamaan tanpa suatu persamaan (misal), ibarat kuda tanpa kekang, atau unta tanpa penuntun."
Al-Mawardi, sekalipun bukan mahasiswa biasa dalam ilmu politik, adalah ahli ekonomi politik kelas tinggi dan tulisan-tulisannya yang spekulatif politis dianggap sangat bernilai. Karyanya yang monumental, Al-Ahkam us-Sultaniyah, mengambil tempat yang penting diantara risalah-risalah politik yang ditulis selama abad pertengahan. Dia telah menulis empat buku tentang ilmu politik yaitu:
1. Al-Ahkam us-Sultaniyah (hukum mengenai kenegarawan),
2. Adab al-Wasir (etika menteri),
3. Siyasat ul-Malik (politik raja),
4. Tahsil unNasr wat-Ta'jit uz-Zafar (memudahkan penaklukkan dan mempercepat kemenangan)
Dari empat buku ini, dua yang pertma telah diterbitkan. Al-Ahkam us-Sultaniyah, yang telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa, termasuk Perancis, dan Urdu, merupakan karya-karya tiada ternilai mengenai hukum masyarakat Islam. Dalam isi buku ini, dia telah mengikuti karya Asy-Syafi'i, kitab Al-Umm, Adab al-Wasir yang menguraiakan fungsi perdana menteri, dan memberikan pandangan-pandangan yang sehat mengenai administrasi umum. Suatu bacaan yang luas menguraiakan kewajiban-kewajiban dan hak-hak istimewa perdana menteri banyak dihasilkan di negeri-negeri Islam, tetapi karya Al-Mawardi, Adab al-Wasir, adalah yang paling luas dan penting mengenai pesoalannya, yang meliputi hampir semua tahap tentang hal yang berseluk-beluk ini.
Tulisan-tulisan Al-Mawardi yang bersifat politik, maupun yang religius, mempunyai pengaruh besar atas penulis-penulis yang kemudian tentang persoalan ini, terutama di negeri-negeri Islam. Pengaruhnya bisa terrlihat pada karya Nizamul Mulk Tusi, Siyasat Nama, dan Prolegomena karya Ibn Khaldun. Ibn Khaldun, yang diakui peletak dasar sosiologi, dan pengarang tekemuka mengenai ekonomi politik tak ragu lagi telah melebihi Al-Mawardi dalam banyakhal. Menyebutkan satu-persatu kemestian seorang penguasa, Ibn Khaldun berkata, "Penguasa itu ada untuk kebaikan rakyat……….. Kemestian adanya seorang penguasa timbul dari fakta bahwa manusia harus hidup bersama-sama; dan kecuali ada orang yang memelihara ketertiban, maka masyarakat akan hancur berantakan." Dia mengamati: "Selamanya ada kecenderungan tetap dalam suatu monarki Timur kepada absolutisme, kepada kekuasaan tiada terbatas, tiada diraukan, begitu pulalah kecenderungan gubernur-gubernur orang Timur kepada kebebasan bertambah-tambah besar kepada kekuasaan pusat." Sebelumnya, Al-Mawardi telah menunjukkan kekuasaan tak terbatas dari gubernur-gubernur selama kemerosotan kekhalifahan Abbasiyah, ketika kedudukan gubernuran itu telah diperoleh melalui perebutan kuasa, dan penguasa usat hanya memiliki kontrol yang lemah terhadap mereka.
Demikianlah Al-Mawardi menonjol sebagai pemikir besar politik yang petama dalam Islam, tulisan-tulisan maupun pengalaman-pengalaman praktisnya dibidang politik telah berumur panjang dalam membentuk pandangn politik penulis-penulis yang lahir kemudian.
Sabtu, 26 Februari 2011
Al-Mawardi Sang Politikus
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar